Dia Kusebut Nilam (2)
(Bertemu NILAM)
Terburu-buru karena waktu jam kuliah sudah semakin mendekati, kutinggalkan motor buntutku di tempat parkir dengan berjalan tergopoh-gopoh. Jantungku hampir saja copot, sebuah mobil Honda Jazz, berwarna merah, dengan bunyi klakson panjang berhenti tepat dihadapanku. Suara bannya yang beradu dengan aspas mengeluarkan bunyi yang hampir sama besarnya dengan suara klakson modifikasinya. Aku benar-benar seperti hilang ingatan saking kagetnya.
Masih tak tahu harus berbuat apa, aku berdiri seperti patung memandangi mobil merah menyala itu. Kulihat pintu di bagian sopir mulai terbuka. Seseorang turun. Seorang gadis, berjilbab abu-abu.
Sebuah senyum tersungging dari bibirnya, meski tetap saja kelihatan, dari wajahnya juga terlihat sedang dilanda keterkejutan yang luar biasa.
“Maaf, ...”, kami bersamaan mengucapkan kata itu. Benar-benar bersamaan. Sementara, aku belum juga beranjak dari tempatku berdiri, di depan mobil honda itu.
Entah, aku hanya bisa mengucap kata ‘maaf’, tidak dapat kulanjutkan kata-kataku. Lidahku seperti kelu, mungkin karena kekagetan tadi. Sebenarnya, ingin kujelaskan mengapa aku seperti orang bego melintasi jalan tanpa memperhatikan sekitarku terlebih dahulu. Ingin kusampaikan bahwa ada tugas yang hendak kukumpul, karena terlambat semenit saja, Pak Dosen yang killer itu pasti menolaknya. Itu sudah dikatakannya pada pertemuan minggu lalu. Jika ditolak, artinya nilaiku untuk mata kuliah ini jadi error. Kalau error berarti harus kuulang lagi pada semester depan.
Nantilah kawan, baru kejelaskan soal dosen killer ini. Biar kita selesaikan dulu kisahku dengan pemilik mobil merah itu.
Aku benar-benar tidak bisa bicara kali ini. Sempat aku ragu, jangan-jangan akibat kaget aku jadi kena sakit stroke. Tahu kan penyakit jenis ini? Penyakit yang biasa diidap orang-orang lanjut usia yang tiba-tiba tidak bisa bergerak, tidak bisa bicara. Intinya kelumpuhan sistem syaraf. Ih ... mengerikan jika ini sampai terjadi.
Kutanya hatiku, ternyata bukan. Aku baik-baik saja. Aku masih sehat. “Alhamdulillah,” batinku.
Yang membuatku tak bisa bicara murni memang hanya karena kaget. Tapi, bukan lagi karena hampir saja disambar mobil. Ada kekagetan baru yang jauh lebih serius, kekagetan yang bisa membuatku mati berdiri.
Kawan, biar kuberitahu, ternyata pengendara mobil yang kini berdiri dihadapanku adalah NILAM. Orang yang pernah kuceritakan tempo hari. Bayangkanlah bagaimana nasibku kali ini. Andai kalian liat kawan, keadaanku jauh lebih menyedihkan saat ini dibanding jika sedang dimarahi Pak Dosen Killer. “Ya ... Allah, bantu aku,” doaku.
NILAM, tertawa cekikikan. Mungkin ia geli melihatku seperti orang yang kena setrum listrik tegangan tinggi. Senyumnya masih terus mengembang, Ah ... senyumnya itu kawan, tak sanggup kulukis dengan kata-kata.
Ia menyodorkan tangannya, “Purnama, teman memanggilku begitu, lebih lengkapnya, Purnama Nilam Wulandari,” ia memperkenalkan namanya.
“A ... A ... Aqu ... Aquila ... eh ... Muhammad Aquila,” kataku tergagap
Apa kalian tahu kawan, aku tak langsung sebut nama. Aku cukup lama dalam kondisi menganga. Seluruh tubuhku serasa menggigil saat kugenggam tangannya yang mungil itu. Lebih-lebih saat ia sebut namanya. Ternyata benar ada NILAM nya juga ada PURNAMA.
Masih ingatkan, pembicaraanku dengan Rahman sahabatku itu di kamr kost? Aku berdebat dengannya soal NILAM dan Purnama. Ah .., mengapa semua serba kebetulan? Apakah ini pertanda bahwa ia memang jodohku?
“Hahaha ... berhenti berhayal anak muda. Lihat dirimu, dan lihat siapa gadis yang kau taksir. Apakah seimbang?” Suara itu menggema, suara pikiran rasionalku.
“Benar, aku harus tahu diri. Aku tetap saja seperti dulu, melihatnya dari jauh, setida-tidaknya hingga ia dipersunting oleh calon suaminya,” jawabku pada gema suara itu. Tentu saja tidak kedengaran oleh NILAM. Kuucapkan dalam hati saja.
“Aquila, kalo gitu aku izin pamit, masu masuk kuliah,” katanya mengakhiri lamunanku
“Oh ... iya,” hanya itu yang kubilang. Ah ... bodohnya aku, padahal banyak yang ingin kutanyakan.
Aku baru sadar waktu kumpul tugas tinggal semenit lagi. Kuambil langkah seribu menuju ruang kuliah. Alhamdulillah, tugasku terkumpul dengan selamat.
***
Jelang magrib, aku baru sampai di kost. Kulihat Rahman sedang ngorok. Sebuah bantal guling kuambil, tepat mendarat dihidungnya.
“Tiaaaraaaaaappppp ... ada kebakaraaaaannnn,” kataku setengah berteriak.
Lucu juga gaya sahabatku ini yang terbangun mengangkang, lalu langsung berbalik dalam posisi tiarap. “Mana apinya?” Katanya sambil membenamkan wajahnya pada bantal.
“Hahaha ... apinya tidak ada. Kamu terlalu banyak tidur, jadi mimpi macam-macam.”
Kawan, sebenarnya aku tidak bermaksud jahat hingga mengganggu tidur sahabatku. Ini kulakukan semata-mata karena ada berita yang tak sanggup lagi kusimpan lama-lama. Aku haru cerita pada Rahman soal pertemuanku dengan NILAM di kampus siang tadi.
“Bangunlah, cuci muka sana biar sedikit segar. Ini ada gorengan kubeli, cukuplah buat lauk jika kau lapar,” kataku.
“Tumben kau baik, malaikat mana yang menghinggapimu sampai ingat aku lapar?” Katanya sambil makan, sangat lahap. Kelihatannya ia memang sedang lapar.
“Sudahlah, makanlah dulu. Nanti kuceritakan sesuatu.”
Lalu, kuceritakan semua tentang peristiwa siang tadi. Rahman, tampak seperti psikiater, sesekali manggut-manggut. Pada waktu lain, ia berkomentar memberi pendapat dan saran.
“Ah ... hai ... kesimpulanku, itu jodohmu. NILAM dilahirkan untukmu teman. Selamat....,” katanya sok tahu.
Sebenarnya, aku masih begitu betah berlama-lama berbincang soal NILAM. Sayang sekali, jam setengah delapan aku harus masuk kerja. Aku bergegas mandi.
Kawan, aku bekerja di sebuah percetakan surat kabar. Selain dapat uang buat bayar kuliah, yaaa ... memang tidak seberapa, juga bisa belajar dari para wartawan senior, belajar-belajar menulis. Begitu aku lakoni setidaknya hingga di semester tiga kuliahku saat ini. (Aquila)
Leave a Comment